Ada berita menarik tersebar di media sosial bahwa seorang Walikota Tanjungpinang Mengancam BPJS Kesehatan. Isi beritanya:
Kebijakan BPJS yang tidak menanggung pengobatan Ridho Al Hafisdz, bayi yang menderita penyumbatan saluran empedu dan gangguan hati karena terganjal daya listrik dikecam oleh Wali Kota Tanjungpinang, Lis Darmansyah.
Apa yang sebenarnya terjadi? Ternyata berita itu ada rentetannya di berita lain tentang pembiayaan pelayanan kesehatan seorang bayi. Disebutkan dalam beritanya:
"Kami tidak bisa berharap lagi pada BPJS. Pokoknya biasa pengobatan anak itu ditanggung oleh Pemko Tanjungpinang melalui Jamkesda. Urusan selanjutnya diatur oleh Dinkes Tanjungpinang," aku Surjadi, Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Tanjungpinang, Minggu (18/10/2015) pagi.
Mengapa BPJS Kesehatan tidak bisa menanggung? Disebutkan:
Pengakuan Surjadi dibenarkan pula oleh Rustam, Kepala Dinkes Tanjungpinang. Kepada Tribun, dia mengatakan bahwa, Dinkes akan menanggung biaya pengobatan dan perawatan bayi yang barusia 2 bulan itu.
"Kami akan mengurusnya. Kami mengaktifkan kartunya. Setelah 14 hari baru kartunya mulai aktif," terang Rustam ketika dimintai tanggapan.
Mengapa harus menunggu 14 hari untuk aktif? Ternyata di sini masalahnya:
Namun, BPJS tidak mau mengeluarkan rekomendasi untuk biaya pengobatan bayi yang kedua orang tuanya bekerja sebagai tukang bangunan dan ibu rumah tangga itu.
BPJS beralasan bahwa Ridho sudah didaftarkan oleh orang tuanya, Kaferi (38) dan Lia Aityah (36) sebagai pasien yang masuk dalam Peserta Mandiri.
Lebih dari itu, rekening listrik berdaya 1300 watt pada rumah yang ditumpangi keluarga Ridho dinilai tidak masuk dalam satu syarat penerimaan BPJS.
Seorang pasien bisa didaftarkan sebagai peserta BPJS antara lain kalau rekening listrik pada rumah di mana dia tinggal berdaya 900 watt.
Apa yang menarik dari berita-berita ini? ASIMETRI INFORMASI.
Pertama, ungkapan Walikota berikut ini, jelas menggambarkan bahwa informasi terkait layanan JKN bagi seorang Walikota saja ternyata masih keliru:
"BPJS memang begitu. Kadang orang mengalami kecelakaan kerja tidak diterimanya. Korban kecelakaan lalulintas pun kerap ditolaknya. Kalau BPJS masih terus berketentuan seperti itu, maka saya akan tolak BPJS berlaku di Tanjungpinang. Kita pakai Jamkesda saja," tegas Lis.
Padahal sudah sejak awal 2014 ada regulasi, ada penjelasan, ada sebaran informasi tentang pemilahan ranah antara BPJS Kesehatan, Jasa Raharja dan BPJS Ketenagakerjaan. Yang tidak boleh terjadi adalah 2 hal sebenarnya: (1) Ada satu layanan yang ditanggung oleh lebih dari satu penjamin. Ini sering kita dengar pada era dulu dimana “sudah ditanggung Askes tapi masih bisa diajukan klaimnya ke Jasa Raharja”. (2) Ada warga negara sudah memenuhi kewajibannya menjadi peserta JKN, membayar sumbangan wajib untuk kecelakaan maupun menjadi peserta Jaminan Sosial untuk Tenaga Kerja, dengan memenuhi ketentuan, sampai tidak ada yang menjamin ketika membutuhkan pelayanan kesehatan. Pemahaman demikian sangat penting, apalagi bagi Pejabat Negara.
Hal yang sama terjadi pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (sesuai isi berita) serta Dinas Kesehatan. Beberapa poin yang perlu kita klarifikasi agar kejadian seperti ini tidak terulang:
1. Bayi tersebut didaftarkan sebagai peserta mandiri saat sudah lahir. Padahal sudah jelas ada informasi tentang pendaftaran calon bayi untuk kelompok mandiri. Sayang informasi ini sepertinya belum sampai pada orang tua bayi tersebut.
2. Ada peran Dinas Sosial setempat memberikan rekomendasi agar bayi ini dapat didaftarkan sebagai peserta mandiri kelas III dan bisa langsung aktif, dengan syarat dianggap masuk kategori tidak atau kurang mampu. Dalam berita, tidak tergambar pemahaman itu.
3. Ada kesempatan bagi pekerja informal untuk menjadi Peserta pada BPJS Ketenagakerjaan bila memang dianggap lebih tepat bagi orang tua bayi tersebut. Dinas terkait perlu mendorong dan menyebarkan informasi ini.
Mengapa BPJS Kesehatan menggunakan juga alasan soal beban listrik terpasang?
Memang yang masuk kategori Tidak atau Kurang Mampu menurut KepMenSos 146/2013 adalah yang belum memiliki aliran listrik atau aliran listrik tanpa meteran. Hal ini juga sesuai dengan Kriteria Badan Pusat Statistik untuk Kriteria Miskin. Demikian pula, yang masih berhak menerima subsidi listrik adalah rumah tangga yang menggunakan daya listrik kurang dari 1300 watt.
Karena itu dalam Peraturan BPJS Kesehatan nomor 1/2015 dan Peraturan Direksi BPJS Kesehatan 32/2015 bahwa batasan untuk tidak dan kurang mampu adalah daya listrik maksimal 900 watt. Bagi kelompok ini, asal ada rekomendasi dari Dinas Sosial, maka begitu didaftarkan sebagai peserta mandiri, bisa langsung digunakan kartunya. Maka penggalan berita ini juga salah maknanya:
Lebih dari itu, rekening listrik berdaya 1300 watt pada rumah yang ditumpangi keluarga Ridho dinilai tidak masuk dalam satu syarat penerimaan BPJS.
Seorang pasien bisa didaftarkan sebagai peserta BPJS antara lain kalau rekening listrik pada rumah di mana dia tinggal berdaya 900 watt.
Lantas bagaimana penyelesaian biaya pasien ini nantinya?
Masih ada potensi “salah paham” lagi bila tidak segera dijernihkan sejak awal. Seorang pasien harus sudah jelas status kepesertaannya saat mulai masuk pelayanan kesehatan rawat inap. Diberi waktu 3x24 jam untuk menunjukkan kelengkapan statusnya tersebut. Pada pasien ini masih ada risiko masalah bila tidak segera diantisipasi sejak awal.
Siapa yang berperan penting? Tentu saja, Pemda setempat melalui Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan. Rekomendasi Dinas Sosial dan diskresi dari Dinas Kesehatan yang bisa mengatasi masalahnya.
[Disadur dari catatan FB dr Tonang DA berjudul "Asimetri Informasi (lagi)?"]
Kebijakan BPJS yang tidak menanggung pengobatan Ridho Al Hafisdz, bayi yang menderita penyumbatan saluran empedu dan gangguan hati karena terganjal daya listrik dikecam oleh Wali Kota Tanjungpinang, Lis Darmansyah.
Apa yang sebenarnya terjadi? Ternyata berita itu ada rentetannya di berita lain tentang pembiayaan pelayanan kesehatan seorang bayi. Disebutkan dalam beritanya:
"Kami tidak bisa berharap lagi pada BPJS. Pokoknya biasa pengobatan anak itu ditanggung oleh Pemko Tanjungpinang melalui Jamkesda. Urusan selanjutnya diatur oleh Dinkes Tanjungpinang," aku Surjadi, Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Tanjungpinang, Minggu (18/10/2015) pagi.
Mengapa BPJS Kesehatan tidak bisa menanggung? Disebutkan:
Pengakuan Surjadi dibenarkan pula oleh Rustam, Kepala Dinkes Tanjungpinang. Kepada Tribun, dia mengatakan bahwa, Dinkes akan menanggung biaya pengobatan dan perawatan bayi yang barusia 2 bulan itu.
"Kami akan mengurusnya. Kami mengaktifkan kartunya. Setelah 14 hari baru kartunya mulai aktif," terang Rustam ketika dimintai tanggapan.
Mengapa harus menunggu 14 hari untuk aktif? Ternyata di sini masalahnya:
Namun, BPJS tidak mau mengeluarkan rekomendasi untuk biaya pengobatan bayi yang kedua orang tuanya bekerja sebagai tukang bangunan dan ibu rumah tangga itu.
BPJS beralasan bahwa Ridho sudah didaftarkan oleh orang tuanya, Kaferi (38) dan Lia Aityah (36) sebagai pasien yang masuk dalam Peserta Mandiri.
Lebih dari itu, rekening listrik berdaya 1300 watt pada rumah yang ditumpangi keluarga Ridho dinilai tidak masuk dalam satu syarat penerimaan BPJS.
Seorang pasien bisa didaftarkan sebagai peserta BPJS antara lain kalau rekening listrik pada rumah di mana dia tinggal berdaya 900 watt.
Apa yang menarik dari berita-berita ini? ASIMETRI INFORMASI.
Pertama, ungkapan Walikota berikut ini, jelas menggambarkan bahwa informasi terkait layanan JKN bagi seorang Walikota saja ternyata masih keliru:
"BPJS memang begitu. Kadang orang mengalami kecelakaan kerja tidak diterimanya. Korban kecelakaan lalulintas pun kerap ditolaknya. Kalau BPJS masih terus berketentuan seperti itu, maka saya akan tolak BPJS berlaku di Tanjungpinang. Kita pakai Jamkesda saja," tegas Lis.
Padahal sudah sejak awal 2014 ada regulasi, ada penjelasan, ada sebaran informasi tentang pemilahan ranah antara BPJS Kesehatan, Jasa Raharja dan BPJS Ketenagakerjaan. Yang tidak boleh terjadi adalah 2 hal sebenarnya: (1) Ada satu layanan yang ditanggung oleh lebih dari satu penjamin. Ini sering kita dengar pada era dulu dimana “sudah ditanggung Askes tapi masih bisa diajukan klaimnya ke Jasa Raharja”. (2) Ada warga negara sudah memenuhi kewajibannya menjadi peserta JKN, membayar sumbangan wajib untuk kecelakaan maupun menjadi peserta Jaminan Sosial untuk Tenaga Kerja, dengan memenuhi ketentuan, sampai tidak ada yang menjamin ketika membutuhkan pelayanan kesehatan. Pemahaman demikian sangat penting, apalagi bagi Pejabat Negara.
Hal yang sama terjadi pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (sesuai isi berita) serta Dinas Kesehatan. Beberapa poin yang perlu kita klarifikasi agar kejadian seperti ini tidak terulang:
1. Bayi tersebut didaftarkan sebagai peserta mandiri saat sudah lahir. Padahal sudah jelas ada informasi tentang pendaftaran calon bayi untuk kelompok mandiri. Sayang informasi ini sepertinya belum sampai pada orang tua bayi tersebut.
2. Ada peran Dinas Sosial setempat memberikan rekomendasi agar bayi ini dapat didaftarkan sebagai peserta mandiri kelas III dan bisa langsung aktif, dengan syarat dianggap masuk kategori tidak atau kurang mampu. Dalam berita, tidak tergambar pemahaman itu.
3. Ada kesempatan bagi pekerja informal untuk menjadi Peserta pada BPJS Ketenagakerjaan bila memang dianggap lebih tepat bagi orang tua bayi tersebut. Dinas terkait perlu mendorong dan menyebarkan informasi ini.
Foto bayi ridho pengidap kelainan hati, image source: tribunnews |
Mengapa BPJS Kesehatan menggunakan juga alasan soal beban listrik terpasang?
Memang yang masuk kategori Tidak atau Kurang Mampu menurut KepMenSos 146/2013 adalah yang belum memiliki aliran listrik atau aliran listrik tanpa meteran. Hal ini juga sesuai dengan Kriteria Badan Pusat Statistik untuk Kriteria Miskin. Demikian pula, yang masih berhak menerima subsidi listrik adalah rumah tangga yang menggunakan daya listrik kurang dari 1300 watt.
Karena itu dalam Peraturan BPJS Kesehatan nomor 1/2015 dan Peraturan Direksi BPJS Kesehatan 32/2015 bahwa batasan untuk tidak dan kurang mampu adalah daya listrik maksimal 900 watt. Bagi kelompok ini, asal ada rekomendasi dari Dinas Sosial, maka begitu didaftarkan sebagai peserta mandiri, bisa langsung digunakan kartunya. Maka penggalan berita ini juga salah maknanya:
Lebih dari itu, rekening listrik berdaya 1300 watt pada rumah yang ditumpangi keluarga Ridho dinilai tidak masuk dalam satu syarat penerimaan BPJS.
Seorang pasien bisa didaftarkan sebagai peserta BPJS antara lain kalau rekening listrik pada rumah di mana dia tinggal berdaya 900 watt.
Lantas bagaimana penyelesaian biaya pasien ini nantinya?
Masih ada potensi “salah paham” lagi bila tidak segera dijernihkan sejak awal. Seorang pasien harus sudah jelas status kepesertaannya saat mulai masuk pelayanan kesehatan rawat inap. Diberi waktu 3x24 jam untuk menunjukkan kelengkapan statusnya tersebut. Pada pasien ini masih ada risiko masalah bila tidak segera diantisipasi sejak awal.
Siapa yang berperan penting? Tentu saja, Pemda setempat melalui Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan. Rekomendasi Dinas Sosial dan diskresi dari Dinas Kesehatan yang bisa mengatasi masalahnya.
[Disadur dari catatan FB dr Tonang DA berjudul "Asimetri Informasi (lagi)?"]
Komentar
Posting Komentar